• Posted by : Ahmad Nabiel Minggu, 02 November 2014

    Udara dingin menusukku melewati baju hangat yang tengah kukenakan ini. Napas putih yang keluar dari mulutku pun semakin tebal. Segera kulilitkan lagi syal yang melingkar di leherku ini sebelum salju turun semakin lebat. Benar saja salju yang turun pun semakin lebat. Kupercepat langkah kakiku menuju asramaku. Dua puluh menit kemudian aku pun tiba di asramaku. Kulihat kembali pemandanga diluar melalui jendela kamarku. Benar saja salju yang turun pun semakin lebat. Untung saja aku lebih cepat sampai di asramaku. Aku bersyukur kereta di negara ini benar-benar cepat dan tepat waktu. Di negara tempat matahari serta tempat lahirnya anime inilah di mana aku menetap untuk menuntu ilmu.
    Namaku Salman, umurku masih 17 tahun tetapi aku sudah menempati jenjang kuliah, semester I tepatnya. Banyak orang mengira aku berasal dari keluarga kaya atau semacamnya. Namun semua itu salah, aku hanya berasal dari keluarga petani di sebuah kota bernama Karawang. Pendidikan yang kudapat ini adalah hasil kerja kerasku serta dukungan orangtuaku untuk mendapatkan beasiswa penuh beserta uang saku di Jepang. Selain hobiku menonton anime (film animasi khas Jepang), kekagumanku akan betapa hebatnya negeri inilah yang membawaku kemari.
    Kulanjutkan langkahku menuju kursiku untuk melepas lelah setelah berjuang dari derasnya salju. Kulihat kedua temanku sedang sibuk masing-masing. Kulihat Raku, seorang mahasiswa sepertiku, seorang pemuda berumur 18 tahun, berbaju biru dengan celana jins hitam sedang mengemasi barang-barangnya. Sementara itu kulihat di depan layar computer terduduk seorang mahasiswa sepertiku juga dengan pakaian serba hitam. Ia mengenakan celana jins hitam dengan baju hitam keabu-abuan dihiasi garis putih dilengannya. Ia memiliki rambut hitam mengkilap yang dihiasi headset dikepalanya. Ia bernama Kazuto, seorang maniak game online. Keduanya merupakan orang Jepang asli. Meskipun begitu tak jarang pula aku mengobrol dengan mereka. Berbekal kegemaranku menonton anime, aku dapat belajar cukup banyak percakapan dalam Bahasa Jepang.
    Setelah cukup beristirahat, kugantungkan baju hangatku di lemariku. Selagi kuletakkkan baju hangat tersebut, kucoba lagi untuk mengingat-ingat kembali barang apa saja yang perlu kubawa ke tanah air nanti. Ditengah asyiknya berpikir, Raku menepuk pundakku. Dengan setengah kaget aku menoleh padanya.
    “Ng…? Ada apa?” tanyaku padanya, dalam Bahasa Jepang tentunya.
    “Barang bawaanmu dikit banget? Emang mau liburan kemana?” tanyanya padaku sambal menunjuk tasku.
    Memang benar, barang bawaanku sangat sedikit. Maklum saja, berhubung aku berasal dari keluarga petani rumahku kecil, sehingga tak perlu kubawa banyak barang-barang. Cukuplah baju, pakaian sehari-hari serta beberapa oleh-oleh untuk adik-adikku. Apalagi liburan akhir tahun ini tidak berlangsung terlalu lama. Liburan akhir tahun ini dimulai tepat 3 hari sebelum natal sampai 10 hari setelah tahun baru.
    “Yaah… Aku mau pulang ke Indonesia. Tapi menurutku barang bawaanku sudah cukup kok” balasku menjawab pertanyaan Raku.
    “Hee… kau mau pulang ke Indonesia? Bagaimana kalo liburan di rumahku saja? Tentunya kau tidak perlu membutuhkan uang yang lebih banyak” sambar Kazuto setelah mematikan komputernya.
    “Waah… mungkin lain kali deh. Aku sedang ingin bertemu dengan keluargaku. Apalagi aku sudah diberi tiket pulang-pergi dari universitas. Jadi saynag ‘kan kalo nggak dipake” balasku dengan sopan.
    “Hmm… Ok deh. Kalo gitu nanti pas musim panas kita liburan bareng yuk!” ajak Kazuto kepada kami.
    “OK…” jawabku dan Raku serempak.
    Akhirnya malam itu pun kami habiskan dengan mengemasi barang-barang kami, karena besok pagi kami sudah harus pergi dari asrama. Sambil menunggu kantuk menyergap kami pun saling berbagi cerita tentang kampung halaman kami. Bila Raku bercerita tentang Tokyonya, serta Kazuto pun bercerita tentang Okinawanya aku pun tak mau kalah meceritakan Karawangku kepada mereka. Kuceritakan kepada mereka tentang bagaimana Karawang disebut kota lumbung padi sejak zaman kerajaan Islam di Indonesia. Kukira hal itu merupakan hal biasa saja, tetapi aku malah mendapat reaksi tak terduga dari kedua temanku ini. Mereka sangat tertarik dengan ceritaku, untung saja dulu saat pelajaran Sejarah, guruku pernah memberiku tugas untuk menulis sebuah blog. Dan salah satu artikel yang kutulis berisikan tentang sejarah awal kota Karawang itu sendiri. Aku pun menceritakan tentang semua yang kutahu tentang kota Karawang. Tak lama kemudian, kami pun terlelap.
    Alarmku pun berbunyi memecah bisunya pagi itu. Suaranya yang berdering nyaring, membuat kupingku ini langsung sigap menerima gelombang bunyi yang senantiasa membangunkanku. Alarm yang senantiasa membangunkanku untuk solat subuh ini telah lama bersamaku sejak zaman pesantren hingga kini. Langsung saja kubangkit dari tidurku menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Melihat kedua temanku masih terlelap dalam mimpinya, membuatku bertanya pada diriku “Bisa-bisanya ada orang yang gak bangun denger alarm sekenceng itu”. Maklum saja, orang sepertiku ini sudah terlatih pendengarannya akan bunyi alarm seperti apapun. Karena ini adalah modal utama bagi anak pesantren untuk bisa selamat dari Mudabbir (Pengurus OSIS) kedisiplinan.
    Kumulai pagi itu dengan solat Subuh yang kulanjutkan dengan membangunkan kedua temanku. Karena pada dasarnya merekalah yang memintaku untuk membangunkan mereka pagi-pagi agar bisa langsung bersiap-siap. Akhirnya dalam waktu 1 jam kami pun sudah siap, bus universitas pun siap mengantar kami menuju bandara, stasiun maupun tempat lainnya.
    Satu jam berlalu, aku pun akhirnya sampai di bandara. Aku pun berpamitan dengan teman-temanku untuk langsung masuk ke ruangan boarding. Kutunggu pesawat yang akan menjemputku kembali ke tanah air di ruangan itu. Kuisi waktuku dengan membaca sebuah majalah yang telah disediakan di ruang tunggu tersebut. Akhirnya pesawatku pun datang, segera kupersiapkan diriku untuk menaiki pesawat. Tentu saja antrian penumpang yang hendak menaiki pesawat tersebut berbaris dengan rapi. Terbesit di pikiranku andai saja Indonesia bisa mematuhi peraturan seperti ini.
    Saat kumasuki pesawat tersebut, wajahku diterpa oleh hawa dingin pendingin ruangan dari pesawat tersebut. Lantas saja kueratkan kembali syal yang menggantung di leherku ini untuk menahan dingin. Tak lama waktu yang kubutuhkan untuk mencari kursiku. Senang rasanya kudapat kursi di urutan pojok dekat dengan jendela. Melihat pemandangan dari ketinggian melalui jendela pesawat memang menjadi hal favorit bagiku yang jarang naik pesawat. Kuisi waktuku di pesawat dengan membayangkan rumahku, sambal terasi khas ibuku dan hamparan sawah cantik yang luas milik ayahku, yang menyimpan banyak kenangan bersamaku serta sebagai sumber utama penghidupan keluarga kami. Ditengah lamunanku itu tiba-tiba lampu pesawat diredupkan, ditambah hawa dingin dari pendingin di pesawat, sangat mendukungku untuk terlelap dengan cepat.
    Beberapa jam kemudian aku pun terbangun kudengar suara pengumuman dari pramugari bahwa sebentar lagi pesawat akan sampai di bandara Soekarno-Hatta. Pengumuman itu susah payah kudengar karena, seperti biasa kupingku terasa pengang akibat perubahan ketinggian yang dialami pesawat. Meskipun begitu hatiku tetap berdebar-debar untuk segera sampai di tanah air tercinta. Segera kulihat dari jendela pesawat yang berada tepat di samping kiriku. Darinya kulihat kota Jakarta yang dihiasi oleh titik-titik padat yang berjalan sangat lambat. Tak perlulah kutanyakan pada diriku apakah titik kecil itu. Aku sudah mafhum bahwa itu adalah kendaraan-kendaraan yang dilanda kemacetan setiap harinya.
    Tak sampai tiga puluh menit, pesawatku sudah mendarat di bandara. Penumpang pun akhirnya dipersilakan untuk keluar dari pesawat. Begitu keluar kurasakan udara panas menerpa tubuhku. Panas, kering begitulah kondisi di kota ini. Berbanding terbalik dengan keadaan di Jepang sana, dingin dan semua diselimuti salju putih. Tak kuhiraukan rasa panas yang menerjang kulitku ini, langsung saja kulepas syal yang sedari tadi masih melingkar di leherku ini.
    Setelah cukup lama mengurus paspor dan barang-barangku, aku pun langsung mencari bus untuk pulang ke Karawang. Untung saja aku menemukan sebuah bus yang langsung menuju Karawang, jadi tak perlulah aku gonta-ganti bus untuk sampai ke Karawang yang lebih menghabiskan banyak biaya. Sama seperti di pesawat, begitu aku mendapat tempat duduk di bus, langsung saja mataku merengek minta istirahat. Kuturuti saja permintaannya, wajar saja mungkin ia masih sedikit jetlag akibat penerbangan tadi. Lima menit kemudian pun aku sudah tak sadarkan diri lagi, aku tertidur pulas di bus.
    Bersambung di Part 2....

    { 1 komentar... read them below or add one }

    1. Gomen.. Ini yg bikin cerita nya emang orang karawang apa gimana.??

      BalasHapus

  • Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    Kumpulan Cerita Iseng Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan